Sabtu, 14 Agustus 2021

Aku Hanya Seorang Anak Pengemis


       Aku Hanya Anak Seorang Pengemis


Suara ramai knalpot kendaraan sudah menjadi alarm pembangunku setiap pagi. Setiap suara itu mulai terdengar, aku dan ayah bergegas untuk pindah dari tempat kami tidur jika tidak mau berakhir dengan diusir. Asal kalian semua tahu, cara hidupku dan ayah dapat dibilang masih mengikuti cara hidup manusia purba, nomaden. Tempat kami tidur malam ini belum tentu sama dengan tempat tidur kami besok malam. Entah hanya beralas kardus atau bahkan tidak beralas sama sekali. Ya begitulah, tidak ada yang dapat menjamin apa yang akan terjadi pada kami, jangankan nanti malam, satu jam yang akan datang pun belum tentu.
      
Ayah dan aku berkeliling untuk meminta barangkali satu atau dua gelas air dari warung sekitar untuk mengganjal perut lapar. Tidak pernah ada yang tau pasti kapan kami akan mendapat makan walau hanya sebuah nasi kotak sisa yang kami ambil kembali dari tumpukkan sampah. Sudah beberapa jam setelah bangun, aku dan ayah tidak mendapat segelas air pun dari sesiapa yang kami mintai. Sepertinya tidak ada belas kasih yang dapat mereka berikan untuk pengemis tidak berguna seperti kami. Setidaknya itulah kalimat yang sering kami dengar dari mulut mulut mereka yang kami jumpai. Tidak ada rasa iba atau kasihan, hanya terdengar makian dari sebagian besar mereka. 
       "Dasar gelandangan bodoh. Pantas saja banyak penyakit yang tersebar di negara kita ini. Lihat saja mereka, tidak tahu cara menjaga diri dari makanan kotor. Sungguh miris." Aku menoleh, menatap sedih orang itu setelah mendengar apa yang dia katakan. Apa menjadi seorang pengemis adalah pilihan kami? Atau ini adalah pilihan tuhan untuk kami? Ayah menatapku, menyuruhku untuk cepat menghabiskan air mineral botolan yang kami dapat dari mengorek tempat sampah. 
     
Aku kembali memapah ayah berjalan ke pinggir lampu merah, mendudukkannya di trotoar jalan. Aku bersiap untuk menyusuri barisan mobil dan berharap sedikit belas kasih mereka. Berharap mereka akan memberikan sedikit rezeki mereka kepada kami, pengemis tidak berguna ini. Beberapa pengendara motor memberikan uang 2000 mereka kepada ku. Aku berjalan menuju mobil sedan hitam yang berada di empat langkah di sebelah kiriku, mengetuk jendela kacanya. Mataku berbinar saat tahu pengendara itu membuka jendelanya. 
       "Pak," ucapku sedikit lirih. 
  "Hei, pengemis kecil! Jangan beraninya kau mengetuk jendela mobilku ini. Berhentilah meminta minta, cari kerja sana! Kau pikir menghasilkan uang itu mudah, hah? Dasar kau ini, masih kecil tapi sudah berani meminta minta, tidak mau berusaha. Bagaimana negara ini ingin maju jika hanya dipenuhi orang malas yang berkeliaran untuk meminta minta. Dasar bedebah, pergi sana!" Pengemudi itu lantang memaki didepan mukaku. Aku bergegas pergi sebelum dia selesai bicara. Suaranya masih terdengar bahkan setelah aku berlari menjauh, meninggalkan jendela mobil miliknya. Untung saja masih ada dua tiga mobil yang berkenan membuka jendela kaca mereka untuk memberiku uang yang masing masing berbeda nilai. Hari ini, aku dan ayah cukup beruntung karena bisa mendapat uang untuk membeli makan. Mengganjal lapar kami untuk beberapa hari kedepan.
     
Kalau kalian berpikir aku mengemis setiap hari, sungguh aku tidak melakukan hal tersebut. Jika keadaan sudah sangat mendesaklah baru aku akan mengemis. Beberapa tahun lalu, aku hanya sering melihat anak anak berkeliling menghampiri satu per satu mobil yang berbaris menunggu lampu merah untuk menjual dagangan atau hanya sekedar meminta uang dari dalam mobil. Tidak pernah aku membayangkan akan berada di posisi mereka. 
      
Ya, dulu ayah adalah seorang pegawai swasta yang memiliki jabatan cukup tinggi. Penghasilan ayah jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari kami sekeluarga. Apapun yang kami inginkan, hanya perlu memesannya dan barang tersebut akan sampai di depan gerbang rumah kami. Masa masa saat itu perlahan berubah setelah ayah dan ibu mengalami kecelakaan hebat. Akibat kecelakaan itu, kami kehilangan ibu dan ayah kehilangan sebelah kakinya. Atasan ayah di kantor mengetahui kecacatan fisik ayah setelah mengalami kecelakaan. Jabatannya di cabut dan langsung pecat begitu saja. Bukan tanpa alasan ayah di pecat dari pekerjaannya, melaikan karena cacat fisiknya yang tidak daapt diterima oleh atasan ayah.
       
Setelah ber bulan bulan ayah sempat terpuruk dalam menghadapi keadaan, akhirnya ayah bangkit dan mencari pekerjaan dengan mengandalkan pengalaman bekerjanya dulu yang ditulis di lembar CV. Ber hari hari ayah mencari lowongan pekerjaan, tapi tidak ada yang mau menerima ayah karena alasan cacat fisiknya itu. Selama ayah belum mendapat pekerjaan pengganti, maka selama itulah kami hidup mengandalkan tabungan hasil bekerja ayah yang ayah kumpulkan selama bertahun tahun. Lima enam bulan kami masih bisa bertahan dengan hanya mengandalkan tabungan, tapi seterusnya kami kebingungan untuk membayar segala kebutuhan. Satu per satu ayah menjual peralatan yang ada di rumah, sampai puncaknya ayah menjual rumah kami dan membeli lagi rumah yang lebih murah dari uang hasil jual rumah yang dulu. Kejadian seperti kemarin terjadi lagi. Kami tidam bisa memenuhi kebutuhan kami hanya dengan hasil dari penjualan rumah kemarin. Ayah mulai menjual kembali peralatan dan kembali menjual rumah pada akhirnya. Terus begitu sampai kami tidak bisa membeli atap lagi untuk berteduh. 
      "Kita harus tinggal dimana sekarang?" Tanyaku, menatap ayah bingung.  
       "Kita bisa sewa tempat tinggal. Kau tenang saja, ayah akan terus berusaha. Kau harus sabar." Dua kalimat terakhir dari mulutnya itu aku garis bawahi di dalam pikiranku, walau entah sampai kapan aku harus meyakinkan diriku atas dua kalimat tersebut. 
      
Beberapa bulan kemudian, hal yang lebih buruk menimpa kami. Kami diusir dari tempat tinggal sewaan kami karena sudah tidak mampu membayar uang sewa. Jangankan untuk membayar uang sewa, untuk makan sehari hari saja kami bingung harus dapat dari mana. Sejak saat itulah aku dan ayah hidup luntang lantung kesana kemari. Tidak jelas akan tidur dimana kami malam ini, atau tidak akan makan berapa hari kami nantinya. Setelah bertahun tahun aku dan ayah menjalani hidup serba sangat kekurangan seperti ini, kami sudah mulai terbiasa. Tidak lagi aku dan ayah mengalami gangguan pencernaan atau penyakit semacamnya. Seperti kami sudah berbaur dengan berbagai penyakit dan kotoran itu sendiri. 
       "Rotang," ayah menepuk bahu kananku. 
   "Ada apa, yah?" Tanya ku menatap ayah yang masih memperhatikan. 
   "Ayah minta maaf atas semua kesialan yang menimpa hidup mu ini, nak. Tidak seharusnya kau mengalami kesialan beruntut ini. Ayah minta maaf." Nada bicara ayah tenang, tidak terdengar berat sama sekali. Walau begitu, aku tetap yakin kalau ayah sangat menyesali kejadian kejadian beberapa tahun belakangan. 
   Aku tersenyum tipis, "tidak masalah, yah. Ini termasuk sebagian dari pelajaran yang kau berikan." Ayah membalas senyumku. 
     "Kita beli makanan sekarang?" Ayah mengangguk. Aku segera bangkit dan  memapah ayah sampai ketempat makan terdekat.
                                
   - - -
      
Umurku sekarang sudah menginjak empat belas tahun. Aku sudah mulai mencari pekerjaan untuk dapat menghasilkan uang. Apapun itu, asalkan aku dapat menghasilkan uang untuk beli makanan dan obat ayah, pasti akan aku lakukan. Hari ini jadwal ku cukup padat. Aku harus menyelesaikan pekerjaan dari beberapa tempat berbeda. Pagi, aku akan mengantar pesanan barang kepada konsumen dari tempat Mas Gogo, pemilik toko material di ujung pertigaan jalan. Siang, aku bergegas pergi ke tempat pembangunan, tugasku hanya mengaduk semen atau mengangkut pasir. Itu tidak terlalu berat untuk ukuran kuli belia sepertiku. Sore, aku akan mengantre menunggu giliran mendapat makanan dari salah satu komunitas yang selalu membagi makanan untuk orang kekurangan. Lalu malam, aku bergegas pulang atau bisa jadi berakhir dengan pergi ke warung untuk membeli obat ayah jika sudah habis.
         "Ayah, Rotang pulang," aku terkejut melihat ayah tergeletak di lantai dengan kepingan kaca dan tumpahan air di sekitar tubuh genggaman tangannya yang sudah terbuka. Tongkatnya pun sudah tergeletak di sebelahnya. Aku bergegas menghampiri ayah dan mengecek denyut nadinya. Syukurlah hal yang aku cemaskan tidak terjadi. Aku mengangkat tubuh kurus ayah dan menopang tubuh itu sampai kasur. Rasanya detak jantungku yang seperti akan berhenti karena panik tadi kembali normal. Aku mencengkram kuat kuat lututku yang tadi lemas. Lega rasanya.
        
Aku bergegas mengambil air hangat lalu mengusap tubuh ayah. Membersihkannya dari kotoran yang menempel. Mengganti pakaian ayah dengan yang baru. Hidupku dan ayah sudah tidak seberat dulu. Kami sudah mampu menyewa hunian walau tidak selayak yang orang bayangkan. Setidaknya kami punya tempat untuk pulang dan disebut rumah. 
        
Selesai aku mengurus ayah, aku pergi keluar rumah, menengadah menatap langit yang tidak terlalu ramai dengan bintang. Sesekali aku berharap agar bisa menjadi seorang yang hebat. Membayangkannya saja sudah membuatku tidak bisa berhenti berharap. Ah, tapi rasanya mustahil. Melihat diriku berdiri didepan cermin saja sudah membuat harapan dan bayanganku kabur. Sudahlah, tidak tahu diri memang aku ini. Mungkin seperti inilah jalan hidupku sampai aku mati, tapi apa salahnya orang malang sepertiku berharap hal besar sesekali. Bisa jadi nanti hal besar itu benar terjadi di dalam hidupku.
        
Lelah. Bermenit menit aku habiskan untuk berharap. Membayangkan hal hal yang jauh dari zona tempatku hidup. Aku bergegas masuk dan membersihkan diri. Bersiap siap saat kudengar azan berkumandang. Mungkin ini bukan saatnya untuk aku terus berharap. Selesai aku berpakaian, aku berdiri di depan cermin, merapihkan sedikit pakaianku. Aku terkekeh, tampan juga seseorang yang berdiri di hadapan cermin. Ah, tapi sudahlah. Aku harus bergegas pergi ke masjid sebelum tertinggal jamaah. Aku mengecek sebentar kekamar ayah, masih dalam posisi yang sama. Tidak ada yang harus ku cemaskan, aku bergegas berangkat untuk solat. 
        "Assalaamualaikum warahmatullah" suara serak Pak Haji menutup solat isya malam ini.
   "Assalaamualaikum warahmatullah" bisikan bisikan pelan jamaah terdengar mengikuti suara Pak Haji menutup solat. 
         
Setelah solat, aku mengangkat kedua telapak tanganku. Meminta sebanyak banyaknya pada tuhan ku. Satu dua tetes airmata mengalir lancar melewati pipiku, menemani lantunan doa yang kuucap. Tidak satupun telewat ku katakan, semua hal yang aku cemaskan dan aku harapakan. Terlebih setiap aku mengingat ayah, mengingat anak sebayaku yang masih asyik berkumpul dengan teman temannya tanpa risau memikirkan akan makan apa besok, mengingat saat setiap kali aku dihina dan dimaki, dikatakan anak gelandangan yang tidak tahu malu saat meminta sebungkus nasi. Banyak hal ku ucap. Ku ceritakan semua pada satu satunya zat yang selalu ada disisiku, tidak pernah menghina ku. Hanya Dia yang ku percaya untuk mendengarkan segalanya tentang diriku yang hina, hanya Dia yang ku percaya untuk mengabulkan segala harapanku dan menghilangkan segala cemasku. Satu paling ku harap, sembuhkanlah ayahku. Aamiin.
         Aku mengusap wajah, bersiap untuk pulang ke rumah. Baru saja aku bangkit, Pak Haji memanggil. Menghampiriku yang sudah selesai berdoa. 
        "Bagaimana kabar bapakmu, Rotang?" Pak Haji menepuk sebelah bahuku. Aku tersenyum.
       "Masih sama seperti sebelumnya Pak Haji, belum juga membaik." Kataku sambil berjalan keluar masjid didampingi Pak Haji. 
        "Ah, kasihan sekali bapakmu itu. Aku hanya bisa berharap kesembuhan untuknya. Malang sekali. Tapi beruntung dia memilikimu, Rotang. Anak yang senantiasa bisa dia banggakan. Beruntung dia." Masih sama, aku tersenyum mendengar kata kata Pak Haji. Entah memang begitu nyatanya atau beliau hanya berkata begitu untuk menyenangkanku saja. 
       
Aku pamit pulang kepada Pak Haji. Menyalami tangannya yang sudah sedikit keriput. Pak Haji mengelus puncak kepalaku. Membisik di telinga kananku, "jangan berhenti berharap, Rotang. Dia senantiasa mendengar harapanmu." Aku mengangguk, lalu langsung berjalan pulang. 

                                - - -

Pukul 6.15 pagi. Aku bergegas berangkat ke toko milik Koh Xang yang berada di pinggiran jalan raya. Selesai aku mandi dan solat subuh tadi, aku menyiapkan sarapan untuk ayah. Pagi ini ayah sudah tidak selemas kemarin malam. Tapi tetap saja, tubuhnya tidak cukup membaik untuk dikatakan sudah lebih baik. Hal seperti kemarin sudah sering terjadi pada ayah. Pernah sekali terbesit dipikiranku kalau aku akan kehilangan ayah dalam waktu yang cepat. Tapi buru buru aku menepis pikiran buruk itu. Pagi ini hanya ada air putih dan sekotak nasi hasil mengantre yang aku bawa kemarin saat pulang. Aku menyicipnya sedikit, khawatir kalau nasi itu sudah tidak bisa dimakan. 
        "Hanya ini yang ada hari ini, Yah." Kataku sambil meletakkan sekotak nasi itu. 
       Ayah tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Tidak apa, Nak. Ini sudah cukup. Kita pernah hidup lebih susah daripada hari ini." Aku membalas dengan senyum getir, hatiku tidak kuat melihat reaksi ayah yang selalu berusaha baik baik saja. Cepat cepat aku pergi dari hadapan ayah. Bersembunyi dibalik tirai yang membatasi ruangan depan dan kamar. Sekuat tenaga aku menahan air mataku. 
        "Anakku, Rotang. Kemari, Nak! Sarapanlah dulu dengan orang tua malang ini." Dari balik tirai suara ayah terdengar lirih. Membuat hatiku semakin sakit. Tapi aku harus berusaha sekuat mungkin dihadapan ayah. Aku membuka tirai. Berjalan menghampiri ayah.
       Ayah menyuruhku duduk di hadapannya. Menyodorkan sesuap nasi ke arah ku. Ragu ragu aku melahap suapan dari ayah. Ayah tersenyum. Mungkin baginya aku ini sangat berharga. "Kau harus makan yang banyak agar tidak kelelahan. Maafkan ayahmu ini, Nak. Tidak cukup bisa untuk berbuat banyak. Jangankan untuk berbuat banyak, mengais sebutir nasi pun ayah tidak mampu." Tatapan ayah kepadaku penuh dengan penyesalan. Sekali lagi ayah menyuapi ku. Membuat aku membuka mulut menerima suapannya. 
       Tidak, kali ini takdir tidak akan bisa memalingkan keberuntungannya dariku lagi. Sudah cukup bertahun tahun takdir tidak bersisian denganku. Kali ini, takdir berpihak atau tidak, akan ku buat dia memihakku. Setidaknya kali ini saja. Demi ayahku. Batinku meraung, siap berjuang mati matian untuk mengembalikan kehidupannya yang hilang bertahun tahun lalu. Membawa kembali ayahnya ke dalam posisi nyaman, dapat leluasa berbaring diatas ranjang empuk. Tanpa rasa menyesal sedikitpun karena telah membuat hidup kami nelangsa seperti sekarang. 
    

       

Chatbot

 


Jumat, 19 Maret 2021

Aku Hanya Seorang Anak Rantau

           Aku Hanya Seorang Anak Rantau

Tengah hari di pinggir ibukota.
Laki laki dengan perawakan tinggi kurus turun dari kapal dengan tas besar di punggung. Tatapannya menyapu bersih seluruh keramaian didepan. Menatap kebingungan situasi sekitar. Satu detik, dua detik, tiga detik. Dia masih berkutat dengan posisi sebelumnya. Selang tiga detik lagi setelah itu, dia teringat sesuatu, bergegas mengeluarkan lembaran kertas -kecil, lecek, dan kusam- dari kantong celana. Menatap lamat lamat tulisan di kertas. Menerawang rute alamat yang tertulis.  Segera dia mencari kendaraan sambil menunjukkan alamat yang dia punya. Hanya dengan uang pegangan dua juta delapan ratus, dia mencari kendaraan. Menawar nawar dengan harga pas menurut perkiraan pribadi. Dua taksi menolak. Harga yang dia tawarkan terlalu rendah. Jauh sekali dengan perkiraan hitungan argo. 
 
Banyak sekali bus terparkir di terminal pelabuhan. Putus asa dengan kendaraan kendaraan kecil tadi, dia berlari kecil menghampiri loket untuk melihat harga bus ke tempat yang dia tuju sambil bertanya tanya sedikit dengan petugas untuk pemberhentiannya. Tanpa pikir panjang lagi, dia segera membeli tiket dan melompat naik ke dalam bus. Melewati satu per satu kursi, mencari yang kosong. Dia berhenti tepat satu baris sebelum kursi paling belakang. Satu kursi dipojok kosong, hanya ada tas berukuran sedang digeletakkan oleh orang yang duduk di kursi sebelahnya. 
      "Permisi, Bu." Sapanya halus sambil menepuk pundak perempuan paruh baya dihadapannya. Senyum lebar terpampang di wajah nya yang kental dengan ciri khas orang bagian timur Indonesia. Spontan ibu tersbut menoleh dan langsung menutup hidungnya. Menatap laki laki tersebut dengan raut jijik, lalu menggeleng keras. 
      "Tapi kursi itu kosong bu."
      "Ya tuhan, kau pergilah dari situ. Ah, astaga. Baunya," laki laki itu menatap iba diri sendiri. Mengendus pundak kanan dan kiri, lalu lengan kanannya. Tanpa tawar menawar lagi, dia bergegas menuju deretan kursi paling belakang. Berdesakkan dengan tas dan penumpang lain. Satu dua penumpang ada yang bereaksi sama seperti ibu tadi, menutup hidung lalu memalingkan wajahnya. 

Belasan menit dia duduk berdesakkan. Berhimpit himpitan satu sama lain dengan barang dan penumpang. Semakin lama, matahari semakin terik. Bau panas matahari sekaligus bau knalpot kendaraan bercampur. Di salah satu halte dia turun dengan pakaian yang terlihat lebih kusut. Berantakan. Dengan tas besar yang membuatnya terlihat seperti perantau perantau lain. Sekali lagi dia menumpang kendaraan. Kendaraan terakhir sebelum dia sampai di tujuan. 

Adalah Reu. Pemuda timur Indonesia yang berumur dua puluh tujuh tahun. Wajah mudanya sangat men-ciri-kan tanah kelahirannya. Raut wajah keras dan tegas terlihat jelas. Baru kali ini dia hidup dalam perantauan. Sebelumnya, dia bahkan tidak pernah menghentakkan kaki diluar tanah kelahirannya. Hanya hidup disana, menghabiskan waktu untuk menjaga pantai atau sesekali bergantian menjaga toko souvenir dengan mama-nya. 

Matahari sudah tepat diatas kepala. Matanya bolak-balik bergantian menatap antara alamat di kertas lalu mencocokan dengan alamat yang ada di hadapannya. Persis. Jelas sekali dia sudah sampai sekarang. Beberapa langkah maju dia sudah berdiri berhadap-hadapan dengan pintu. Reu membetulkan posisi ransel. 
      "Adoe, bokar skali e rumah sa pu laken. Macam lapangan bola saja." Jari Reu cekatang mendorong gerbang. Mulutnya masih menganga melihat bangunan di hadapannya. Luas sekali. Sebenarnya bangunan dihadapannya bukanlah apartemen atau rumah megah. Bangunan luas itu hanya kos-kosan luas dengan puluhan kamar berjajar rapi. Di bagian depan setelah gerbang juga berjajar rapi motor motor dengan berbagai merk. Tidak terlihat ada mobil kecuali satu, mobil van dengan tulisan box laundry di badan mobil. 

Reu awas mencari nomor kamar yang sesuai dengan angka di kertas. Mencocokkannya dengan nomor nomor di pintu. 
     "27, 27, 27..." mulut Reu terus komat-kamit sambil mencari nomor 27. Sisi kanan nihil. Tidak ada nomor 27. Sekarang dia menoleh ke sisi kiri. Mencari lagi nomor 27 sambil terus berkomat-kamit. 
    "13, 18, 20, 27, 4, 9, eh," tatapannya kembali lagi ke arah 2 pintu sebelumnya. Membaca ulang angka tersebut. 
    "Adoe, ini toh." Bergegas dia melangkah. Mendekati pintu. Sekali lagi dia membetulkan posisi ransel. Jemarinya mengepal, siap mengetuk. Dua ketukan pertama tidak ada jawaban. Pantang menyerah, Reu mengetuk lagi sampai lima kali. Belum sampai kepalan tangannya di pintu, pintu terbuka. Suara berdecitnya terdengar jelas. Kepala laki laki gundul keluar dari balik pintu. 
    "Astaga, hei! Kau ini siang siang mengetuk pintu kamar orang seperti akan menagih hutang saja, hah. Berisik sekali. Pelan pelan sajalah, kawan. Ketukan mu tadi membangunkanku. Ah, astaga." Suara decitan pintu itu bukan dari pintu yang dia ketuk. Melainkan dari sisi seberang.
    "Maaf kaka. Sa tra bermaksud."
    "Tidak masalah, kawan." Laki laki itu menggeleng pelan.
    "Ahiya, kau ini kawannya Si Adoe kah?" Sebelah alis laki laki itu naik-turun, menanyai seakan sedang menginterogasi. Kebingungan dengan orang yang dia ajak bicara. Raut wajah Reu tidak kalah bingung. Alisnya bertaut satu sama lain. 
     "Maaf lagi, kaka. Si Adoe itu siapa toh?" Laki laki gundul itu mengelos. 
    "Temanmu, yang papua juga. Ah, siapa namanya, aku lupa. Ah, Missael. Iyakan?"
    "Iya, kaka. Missael. Sa pu laken itu." Gigi putih Reu terlihat jelas. Senyumnya lebar saat nama temannya disebut. 
     "Kaka ada kenal dia kah?" Laki laki gundul itu hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Reu yang terdengar antusias. 
     "Sepertinya, kau ini tidak cukup baik mengenal laken mu." 
     "Eh," 
     "Iya, kalau kau kenal baik dengan kawanmu Si Adoe itu, harusnya kau tahu betul kalau kawanmu itu sekarang pasti sedang sibuk dengan mimpi indahnya. Entahlah mengkhayal atau tidur lelap. Kau lihat saja disana. Lampunya sempurna mati. Pasti dia sudah lelap." Telunjuk laki laki itu mengarah ke ventilasi diatas pintu. Memang betul katanya, lampu di dalam ruangan itu sempurna mati. Gelap sekali dilihat dari luar. Reu menggeleng sambil terus mendongak menerawang lewat ventilasi tadi. 
     "Sudahlah, akan lama kalau kau menunggu Si Adoe itu bangun. Kau mau ikut aku dulu, tidak?" Laki laki itu sudah berbalik menuju kamarnya. Membiarkan saja Reu dengan posisinya. Terserah dia ingin ikut atau menunggu saja Missael keluar dari kamarnya. Kaget saat menyadari kalau ada tamu yang daritadi sudah menunggunya. Berjam jam terkunci di luar. Terantuk antuk karena terlalu lama menunggu. Eh, ternyata tamu itu adalah teman di kampungnya dulu. Temannya semasa masih menaklukan pantai. 
     "Sa ikut sajalah dengan kaka. Sa tra mo menunggu diluar. Terkunci dengan tas gode eh. Adoe." Reu melangkah mengikuti laki laki di hadapannya. 
     "Ahiya, kau jangan lagi panggil aku dengan sebutan 'kaka'. Aku bukan kerabatmu." 
    "Siap, kaka. Sa tra kan panggil kaka dengan sebutan 'kaka' lagi. Eh, tapi sa panggil kaka apa toh?" Timpal Reu dengan bahasa seadanya. Bercampur campura antara bahasa tanah kelahirannya dengan Bahasa Indonesia seadanya. 
     "Ah, tadi itu terakhir kalinya kau boleh memanggilku 'kaka'. Setelah ini panggil saja aku Soleh." Reu mengangguk mantap. Ternyata nama Si Gundul itu adalah Soleh. 
   
Matahari sudah setengah terbenam. Reu bergegas menghampiri kamar Missael lagi. Lampu kamarnya kali ini sudah menyala. Samar samar dari luar terdengar suara musik, juga sahutan ramai orang yang ikut bernyanyi. 
     "Galileo!" 
     "Galileo!"
     "Galileo!"
     "Galileo!"
Kali ini lebih keras. Jelas sekali teriakan serak laki laki didalam ruangan itu. Jemari Reu mengepal. Bersiap mengetuk pintu. Satu, dua, tiga. 
    Tok tok!
Belum juga ada jawaban dari penghuninya.
    Tok tok!
Ketukan kedua lebih keras.
    Tok tok!
Ah, astaga. Masih juga dihiraukan oleh orang didalam.
     Keempat kali Reu sudah kehilangan kesabaran. Tadi siang, sudah cukup dia ditinggal tidur dan terkunci di luar, lalu menumpang kedalam kamar Soleh. Sekarang tidak lagi dia bersabar. 
      Dor dor dor!
Telapak tangan Reu sempurna menggedor pintu dihadapannya. Berkali kali, tidak berhenti sebelum pintu itu terbuka. Penggedoran Reu berhenti saat telapak tangannya sudah terasa kebas. Mengkibas kibaskannya untuk menghilangkan kebas. Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai lima detik, belum juga dibukakan. Kali ini telapak tangan Reu yang lain sudah bersiap untuk menggedor pintu lagi. Saat Reu siap dengan ancang ancang penggedoran berikutnya, pintu tiba tiba terbuka lebar. Memperlihatkan dengan jelas isi ruangan. Penghuninya pun ikut serta muncul sambil memegangi gagang pintu. Raut wajahnya kesal. Mungkin karena waktu karokenya diganggu oleh gedoran ganas dari tangan -yang dikiranya- seorang debt collector
      "Adoe, coba sa lihat ini siapa yang datang. Menggedor pula mo seperti mengajak bakalahi. Mo sa paku ko, hah?" Missael memasang kuda kuda, tinjunya kuas teracung kearah Reu yang masih menatap kesal. Tidak terima. 
     "Eh, ko menantang sa kah?" Sekarang Reu juga siap dengan kuda kudanya -walaupun kuda kuda dan tinjunya tidak sekuat Missael. Elspresi Missael berubah drastis. Senyum lebarnya menunjukkan gigi gigi besarnya. Garis wajahnya lebih tegas daripadi Reu. 
     "Ah, sa pu kawan memang tra pernah berubah eh." Missael menepuk nepuk bahu Reu. Keduanya tertawa -sampai bahu mereka berguncang, lalu berpelukan ala sahabat lama tidak bertemu. 
      "Ayo masuk!" Aksen Missael sudah tidak sekental Reu yang baru saja keluar dari kampung halaman. Wajar saja karena Missael sudah hampir lima tahun hidup di ibukota. Merantau karena sudah tidak cukup lagi membiayai hidup keluarga kalau hanya dengan menjaga pantai, membantu turis, atau membuka toko souvenir. Kehidupan Missael di kampung memang lebih keras daripada Reu. Dia harus membiayai mama dan empat adiknya. Papanya sudah lama meninggal sejak dia masih kecil. 
     "Ko su makan, heh?" Missael membantu Reu membawa ransel. 
    "Sa su makan tadi di rumah Soleh." 
    "Ko jalan tra kas tau sa eh. Klo ko kas tau sa, sa siapkan penyambutan yang besar untuk ko toh. Adoe ko ini.
    "Eh, su lah. Ko punya mulut banyak sekali tebar janji. Ko ingat, ko su bilang begitu saat sa kas tau ko kalau sa mo pergi ke ibukota." Reu langsung melemparkan tubuhnya ke kasur Missael yang berantakan.
      "Adoh! Apa ini?" Benda kecil menusuk punggung Reu. Tanpa disuruh lagi, Reu bangkit dari posisinya. Meraba benda dibalik selimut. 
      "Eh, Missael. Ko main bola di atas kasur kah?" Bola kecil itu melesat kearah Missael. Tepat mengenai punggung Missael. 
      "Adoh!" Missael mengusap punggungnya yang sakit karena dilempari bola kasti. 
     "Ko bisa tra lempari sa dengan bola, heh?" 
     "Berantakan skali ko pu rumah, El." Protes Reu.
     "Ah, sudahlah. Btw ko su pu pekerjaan?" Malas mendengar protes Reu lebih panjang lagi, Missael mengalihkan pembicaraan. Basa-basi menanyakan pekerjaan -padahal dia sudah tau kalau Reu pasti belum punya pekerjaan. Lagipula, bagaimana bisa perantau yang baru sampai tadi siang sudah dapat pekerjaan? Didalam bis saja dihina. 
     Reu menggeleng. "Eh, ko bawalah sa ke tempat ko bekerja. Kenalkan sa pada bos mu." 
    "Iyalah, tapi ko sendiri nanti eh yang bilang ingin bekerja. Sa tra bisa bantu banyak." 
    Reu mengangguk antusias. Tidak tahu saja apa yang akan terjadi nanti disana.

Pukul enam pagi. Penghuni kos-kosan sudah mulai bersiap pergi ke tempat kerja masing masing -mungkin beberapa ada yang pergi ke universitas. Suara mesin motor sudah terdengar daritadi. Gerbang pun sudah dibuka dari pukul setengah enam. Satpam kos-kosan ramah menyapa para penghuni kos yang melewati gerbang. Entah bagaimana dia bisa kenal dengan para penghuni yang jumlahnya puluhan ini. Mungkin sudah bertahun tahun tinggal disana sampai satpam pun mengenali. Beberapa penghuni ada yang balas menyapa, ada juga yang mengabaikan. Terburu buru mengejar waktu. 

Reu sudah rapih berkemeja dan Missael dengan seragam birunya. Sambil memegang berkas berkas yang sudah dibundel dalam satu map, Reu menyuruh Missael bergegas. Takut sekali terlambat. Cepat cepat Missael menyelesaikan ikatan tali sepatu. Berdiri menghampiri Reu. Menepuk sebelah pu dak Reu dan segera meninggalkan kos-kosan dengan Reu mengikuti dibelakang. Dua laki laki dengan wajah khas Indonesia Timur itu jalan bersebelahan. Menghampiri motor bebek yang terparkir di dekat gerbang. Missael cekatan menyalakan mesin motor, sedangkan Reu hanya memerhatikan dari belakang. Tidak paham sama sekali tentang motor. Semua sudah siap. Missael mantap meng-gas motor bebek kesayangannya. Melintasi jalanan ibukota yang sudah setengah macet. Masih tersisa empat puluh lima menit sebelum jam masuk kerja Missael. 

Tepat sepuluh menit sebelum, motor bebek itu sudah terparkir, berjajar rapih dengan motor lain didalam basement gedung. Missael dan Reu segera memasuki area perkantoran. Ramai sekali pekerja sudah berdatangan. Hinggap di tempatnya masing masing. Bergegas menyalakan komputer di meja. Missael menyapa para pekerja yang sudah siap tersebut. Beberapa tidak, karena Missael tidak mengenalnya. 
     
Didalam ruangan khusus petugas office boy, Missael bersiap dengan alat bersih bersih. Kepalanya menoleh ke arah Reu yang masih berdiri mematung dibelakang. Melihat Reu kebingungan, Missael menyuruh Reu untuk ikut dengannya bertemu dengan salah satu karyawan. Satu menit, Reu dan Missael sudah berdiri dihadapan perempuan dengan rambut rapih terkonde. Missael menepuk bahu perempuan itu dan memberitahukan kalau Reu, temannya, sedang mencari pekerjaan. Tanpa basa-basi, perempuat berkonde tadi bergegas bangkit dari kursi. Menyuruh Reu untuk ikut dengannya. Reu menoleh Missael. Menatapnya bingung. Missael melengos, menyuruhnya bergegas untuk mengikuti perempuan tadi. 

Lorong lorong di gedung perkantoran itu ramai. Suara ketikan terdengar sahut sahutan. Hanya beberapa detik perempuan itu sudah berhenti di depan pintu. Mengetuk dua kali lalu membukanya sedikit. 
     "Permisi, Bu." Kakinya melangkah maju. Memasuki ujung ruangan. 
     "Dingin sekali eh kaka disini." Perempuan itu menoleh. Tatapannya sinis. Menyuruh diam secara tidak langsung. Reu tertunduk. 
      "Ada apa, Sya?" Satu lagi perempuan bicara. Yang kali ini terlihat seperti bos nya. Duduk sendiri didalam ruangan pribadi. Rapih dengan komputer dan beberapa tumpukan dokumen di meja. 
       "Ada yang ingin melemar kerja, Bu." Perempuan disisi Reu bicara lagi. Menjawab pertanyaan dari perempuan tadi. 
       "Kamu yang dimaksud?" Tatapannya langsung mengarah ka Reu. Menatap tegas tanpa halangan. Jantung Reu berdebar.
       "I-iya, Bu." Reu menelan ludah. Tegang sekali.
      "Ya sudah, Sya, kamu boleh keluar. Saya harus melakukan wawancara dengan pria di sebelahmu." 
       "Baik, Bu." Perempuan itu sudah berbalik. Melangkah menuju pintu. 
       "Kau tidak perlu khawatir. Temanmu ini, kalau hasil wawancaranya memuaskan, dia pasti aka segera bekerja denganmu, Sya. Kau tenang saja. Aku tidak akan mencuranginya. Kau tahu itu." 
       Perempuan dengan 'Sya' itu menoleh. "Eh," tatapannya bingung. 
       "Dia bukan temanku, Bu. Soal yang kau bicarakan tentang mencurangi tadi, aku percaya padamu. Tapi untuk pelamar yang satu ini, mungkin ada baiknya kau berbuat curang." Dua perempuan itu tertawa kecil, lalu sempurna menghilang dari balik pintu. 

Reu keluar dengan senyum lebar. Hampir satu jam Reu berada di dalam ruangan. Menjawab satu per satu pertanyaan yang diberikan oleh staf HRD tadi. Sekarang dirinya sempurna lega, walau entah nantinya akan diterima atau tidak. Bergegas dia menghampiri Missael yang dari jauh terlihat sibuk sekali mengepel lantai. Menceritakan pengalamannya melakukan wawancara. Missael ikut tersenyum mendengar cerita Reu. Sama berharapnya agar Reu dapat diterima bekerja. 

Satu minggu berlalu. Sampai hari ini Reu dan Missael masih harap harap cemas mendengar kabar dari staf HRD. Reu sudah siap dengan benda kotak pipih di genggaman. Menunggu kotak masuk tentang penerimaannya sebagai karyawan. Matanya berkutat dengan layar. Tiga menit sudah. Belum juga ada kotak masuk yang dia tunggu tunggu. 
    Ting!
Kotak masuk yang ditunggu tunggu akhirnya datang. Tanpa disuruh lagi, Reu langsung membukanya. Dirinya sudah siap dengan segala kemungkinan. Reu membaca setiap huruf, kata, baris dan paragraf. Matanya berhenti saat membaca tulisan 'diterima'. Seketika Reu menjerit. Tubuhnya melompat kegirangan. Ah, astaga senangnya eperti seseorang yang baru saja memenangkan lotre ratusan miliyar. Girang sekali. Besoknya Reu semangat berangkat bekerja. Pagi pagi sekali sudah siap dengan seragam biru yang disetrika rapih. 

Satu bulan sudah lewat. Reu masih sama semangatnya dengan hari pertama kerja. Selama sebulan Reu takjub dengan sikap toleransi para pegawai di tempat itu. Saling toleransi satu sama lain. Tidak pandang dia orang Papua atau Jawa. Semua sama. Harus sama di hargai dan menghargai. Kalau kata staf HRD yang pernah mewawancarai Reu saat itu 'integrasi sosial'. Ah entahlah itu apa, yang jelas Reu senang. 


     

    




infografis integrasi sosial

Sabtu, 30 Januari 2021

Bagaimana Rasisme Memecah Kita

        Bagaimana Rasisme Memecah Kita

      Sering saya mendengar dan membaca cerita mengenai beberapa suku yang mendapat sikap diskriminasi dari suku lain. Beberapa pertanyaan muncul dikepala saya setiap kali saya mendapat informasi baru mengenai sikap rasis dan diskriminasi. Apa wajar mereka diperlakukan seperti itu? Apa pantas mereka mendapat perlakuan seperti itu? Apa yang salah sehingga mereka diperlakukan seperti itu? Tidak satupun pertanyaan saya terjawab dengan jawaban konkret dari pelaku rasisme atau diskriminasi. Pernah saya berfikir mengenai bagaimana perasaan para korban dari tindakan ini. Sesekali saya mencoba melihat semua itu melalui dua sudut pandang yang berlawanan. Tapi tetap saja saya gagal memahami sudut pandang pelaku. Apa yang salah dengan mereka? Hanya mereka sajalah yang tahu. 
        Satu dua kali saya mendengar seseorang bercerita tentang sikap rasisme dan diskriminasi yang dia dapatkan, saya terkejut. Bagaimana bisa seseorang bersikap sejahat itu? Tapi selang beberapa waktu, keberpihakan saya berubah. Saya berfikir kalau mungkin saja memang ada yang salah dengan dia -si korban. Tapi lama kelamaan, saya merasa tidak wajar dengan tindakan ini. Semula saya hanya mendengar kalau sikap rasis yang mereka terima hanya sekedar perilaku verbal. Tapi lama kelamaan saya mendengar kalau ternyata sikap rasis yang mereka terima bukan hanya sikap verbal, melainkan sikap non-verbal juga.
         Bagi saya, tindakan seperti ini sudah jauh dari kata wajar. Sudah sangat keterlaluan jika sampai melakukan tindak kekerasan hanya dengan alasan kalau kita berbeda suku, ras, agama, dll. Memang apa salahnya kalau kita berbeda? Bukannya hal itu justru menjadi penguat bangsa kita? Kenapa harus dijadikan alasan untuk berpecah belah? Kalau memang begitu alasannya, lalu apa makna dari pancasila dan semboyan negara kita dalam kehidupan mereka -pelaku rasis? Apa perlu dipertanyakan kembali arti dari pancasila dan semboyan negara kita? Sudah sangat jelas kalau pendahulu negeri kita ini menjunjung tinggi persatuan untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Lalu kenapa sekarang hal itu seakan tidak ada apa apanya. Seperti bajak laut yang menutup mata dari mutiara didepannya. 
        'Bhineka Tunggal Ika'
        'Kemanusiaan yang adil dan beradab'
        'Persatuan Indonesia'
        'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'
        Sangat jelas bagi bangsa ini untuk senantiasa menjunjung persatuan, sikap toleransi, dan saling menghargai apapun latar belakangnya. Semua perbedaan berhak dihargai, dan semua yang berbeda wajib saling menghargai. 

Aku Hanya Seorang Anak Pengemis

       Aku Hanya Anak Seorang Pengemis Suara ramai knalpot kendaraan sudah menjadi alarm pembangunku setiap pagi. Setiap suara itu mulai ter...