Aku Hanya Anak Seorang Pengemis
Suara ramai knalpot kendaraan sudah menjadi alarm pembangunku setiap pagi. Setiap suara itu mulai terdengar, aku dan ayah bergegas untuk pindah dari tempat kami tidur jika tidak mau berakhir dengan diusir. Asal kalian semua tahu, cara hidupku dan ayah dapat dibilang masih mengikuti cara hidup manusia purba, nomaden. Tempat kami tidur malam ini belum tentu sama dengan tempat tidur kami besok malam. Entah hanya beralas kardus atau bahkan tidak beralas sama sekali. Ya begitulah, tidak ada yang dapat menjamin apa yang akan terjadi pada kami, jangankan nanti malam, satu jam yang akan datang pun belum tentu.
Ayah dan aku berkeliling untuk meminta barangkali satu atau dua gelas air dari warung sekitar untuk mengganjal perut lapar. Tidak pernah ada yang tau pasti kapan kami akan mendapat makan walau hanya sebuah nasi kotak sisa yang kami ambil kembali dari tumpukkan sampah. Sudah beberapa jam setelah bangun, aku dan ayah tidak mendapat segelas air pun dari sesiapa yang kami mintai. Sepertinya tidak ada belas kasih yang dapat mereka berikan untuk pengemis tidak berguna seperti kami. Setidaknya itulah kalimat yang sering kami dengar dari mulut mulut mereka yang kami jumpai. Tidak ada rasa iba atau kasihan, hanya terdengar makian dari sebagian besar mereka.
"Dasar gelandangan bodoh. Pantas saja banyak penyakit yang tersebar di negara kita ini. Lihat saja mereka, tidak tahu cara menjaga diri dari makanan kotor. Sungguh miris." Aku menoleh, menatap sedih orang itu setelah mendengar apa yang dia katakan. Apa menjadi seorang pengemis adalah pilihan kami? Atau ini adalah pilihan tuhan untuk kami? Ayah menatapku, menyuruhku untuk cepat menghabiskan air mineral botolan yang kami dapat dari mengorek tempat sampah.
Aku kembali memapah ayah berjalan ke pinggir lampu merah, mendudukkannya di trotoar jalan. Aku bersiap untuk menyusuri barisan mobil dan berharap sedikit belas kasih mereka. Berharap mereka akan memberikan sedikit rezeki mereka kepada kami, pengemis tidak berguna ini. Beberapa pengendara motor memberikan uang 2000 mereka kepada ku. Aku berjalan menuju mobil sedan hitam yang berada di empat langkah di sebelah kiriku, mengetuk jendela kacanya. Mataku berbinar saat tahu pengendara itu membuka jendelanya.
"Pak," ucapku sedikit lirih.
"Hei, pengemis kecil! Jangan beraninya kau mengetuk jendela mobilku ini. Berhentilah meminta minta, cari kerja sana! Kau pikir menghasilkan uang itu mudah, hah? Dasar kau ini, masih kecil tapi sudah berani meminta minta, tidak mau berusaha. Bagaimana negara ini ingin maju jika hanya dipenuhi orang malas yang berkeliaran untuk meminta minta. Dasar bedebah, pergi sana!" Pengemudi itu lantang memaki didepan mukaku. Aku bergegas pergi sebelum dia selesai bicara. Suaranya masih terdengar bahkan setelah aku berlari menjauh, meninggalkan jendela mobil miliknya. Untung saja masih ada dua tiga mobil yang berkenan membuka jendela kaca mereka untuk memberiku uang yang masing masing berbeda nilai. Hari ini, aku dan ayah cukup beruntung karena bisa mendapat uang untuk membeli makan. Mengganjal lapar kami untuk beberapa hari kedepan.
Kalau kalian berpikir aku mengemis setiap hari, sungguh aku tidak melakukan hal tersebut. Jika keadaan sudah sangat mendesaklah baru aku akan mengemis. Beberapa tahun lalu, aku hanya sering melihat anak anak berkeliling menghampiri satu per satu mobil yang berbaris menunggu lampu merah untuk menjual dagangan atau hanya sekedar meminta uang dari dalam mobil. Tidak pernah aku membayangkan akan berada di posisi mereka.
Ya, dulu ayah adalah seorang pegawai swasta yang memiliki jabatan cukup tinggi. Penghasilan ayah jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari kami sekeluarga. Apapun yang kami inginkan, hanya perlu memesannya dan barang tersebut akan sampai di depan gerbang rumah kami. Masa masa saat itu perlahan berubah setelah ayah dan ibu mengalami kecelakaan hebat. Akibat kecelakaan itu, kami kehilangan ibu dan ayah kehilangan sebelah kakinya. Atasan ayah di kantor mengetahui kecacatan fisik ayah setelah mengalami kecelakaan. Jabatannya di cabut dan langsung pecat begitu saja. Bukan tanpa alasan ayah di pecat dari pekerjaannya, melaikan karena cacat fisiknya yang tidak daapt diterima oleh atasan ayah.
Setelah ber bulan bulan ayah sempat terpuruk dalam menghadapi keadaan, akhirnya ayah bangkit dan mencari pekerjaan dengan mengandalkan pengalaman bekerjanya dulu yang ditulis di lembar CV. Ber hari hari ayah mencari lowongan pekerjaan, tapi tidak ada yang mau menerima ayah karena alasan cacat fisiknya itu. Selama ayah belum mendapat pekerjaan pengganti, maka selama itulah kami hidup mengandalkan tabungan hasil bekerja ayah yang ayah kumpulkan selama bertahun tahun. Lima enam bulan kami masih bisa bertahan dengan hanya mengandalkan tabungan, tapi seterusnya kami kebingungan untuk membayar segala kebutuhan. Satu per satu ayah menjual peralatan yang ada di rumah, sampai puncaknya ayah menjual rumah kami dan membeli lagi rumah yang lebih murah dari uang hasil jual rumah yang dulu. Kejadian seperti kemarin terjadi lagi. Kami tidam bisa memenuhi kebutuhan kami hanya dengan hasil dari penjualan rumah kemarin. Ayah mulai menjual kembali peralatan dan kembali menjual rumah pada akhirnya. Terus begitu sampai kami tidak bisa membeli atap lagi untuk berteduh.
"Kita harus tinggal dimana sekarang?" Tanyaku, menatap ayah bingung.
"Kita bisa sewa tempat tinggal. Kau tenang saja, ayah akan terus berusaha. Kau harus sabar." Dua kalimat terakhir dari mulutnya itu aku garis bawahi di dalam pikiranku, walau entah sampai kapan aku harus meyakinkan diriku atas dua kalimat tersebut.
Beberapa bulan kemudian, hal yang lebih buruk menimpa kami. Kami diusir dari tempat tinggal sewaan kami karena sudah tidak mampu membayar uang sewa. Jangankan untuk membayar uang sewa, untuk makan sehari hari saja kami bingung harus dapat dari mana. Sejak saat itulah aku dan ayah hidup luntang lantung kesana kemari. Tidak jelas akan tidur dimana kami malam ini, atau tidak akan makan berapa hari kami nantinya. Setelah bertahun tahun aku dan ayah menjalani hidup serba sangat kekurangan seperti ini, kami sudah mulai terbiasa. Tidak lagi aku dan ayah mengalami gangguan pencernaan atau penyakit semacamnya. Seperti kami sudah berbaur dengan berbagai penyakit dan kotoran itu sendiri.
"Rotang," ayah menepuk bahu kananku.
"Ada apa, yah?" Tanya ku menatap ayah yang masih memperhatikan.
"Ayah minta maaf atas semua kesialan yang menimpa hidup mu ini, nak. Tidak seharusnya kau mengalami kesialan beruntut ini. Ayah minta maaf." Nada bicara ayah tenang, tidak terdengar berat sama sekali. Walau begitu, aku tetap yakin kalau ayah sangat menyesali kejadian kejadian beberapa tahun belakangan.
Aku tersenyum tipis, "tidak masalah, yah. Ini termasuk sebagian dari pelajaran yang kau berikan." Ayah membalas senyumku.
"Kita beli makanan sekarang?" Ayah mengangguk. Aku segera bangkit dan memapah ayah sampai ketempat makan terdekat.
- - -
Umurku sekarang sudah menginjak empat belas tahun. Aku sudah mulai mencari pekerjaan untuk dapat menghasilkan uang. Apapun itu, asalkan aku dapat menghasilkan uang untuk beli makanan dan obat ayah, pasti akan aku lakukan. Hari ini jadwal ku cukup padat. Aku harus menyelesaikan pekerjaan dari beberapa tempat berbeda. Pagi, aku akan mengantar pesanan barang kepada konsumen dari tempat Mas Gogo, pemilik toko material di ujung pertigaan jalan. Siang, aku bergegas pergi ke tempat pembangunan, tugasku hanya mengaduk semen atau mengangkut pasir. Itu tidak terlalu berat untuk ukuran kuli belia sepertiku. Sore, aku akan mengantre menunggu giliran mendapat makanan dari salah satu komunitas yang selalu membagi makanan untuk orang kekurangan. Lalu malam, aku bergegas pulang atau bisa jadi berakhir dengan pergi ke warung untuk membeli obat ayah jika sudah habis.
"Ayah, Rotang pulang," aku terkejut melihat ayah tergeletak di lantai dengan kepingan kaca dan tumpahan air di sekitar tubuh genggaman tangannya yang sudah terbuka. Tongkatnya pun sudah tergeletak di sebelahnya. Aku bergegas menghampiri ayah dan mengecek denyut nadinya. Syukurlah hal yang aku cemaskan tidak terjadi. Aku mengangkat tubuh kurus ayah dan menopang tubuh itu sampai kasur. Rasanya detak jantungku yang seperti akan berhenti karena panik tadi kembali normal. Aku mencengkram kuat kuat lututku yang tadi lemas. Lega rasanya.
Aku bergegas mengambil air hangat lalu mengusap tubuh ayah. Membersihkannya dari kotoran yang menempel. Mengganti pakaian ayah dengan yang baru. Hidupku dan ayah sudah tidak seberat dulu. Kami sudah mampu menyewa hunian walau tidak selayak yang orang bayangkan. Setidaknya kami punya tempat untuk pulang dan disebut rumah.
Selesai aku mengurus ayah, aku pergi keluar rumah, menengadah menatap langit yang tidak terlalu ramai dengan bintang. Sesekali aku berharap agar bisa menjadi seorang yang hebat. Membayangkannya saja sudah membuatku tidak bisa berhenti berharap. Ah, tapi rasanya mustahil. Melihat diriku berdiri didepan cermin saja sudah membuat harapan dan bayanganku kabur. Sudahlah, tidak tahu diri memang aku ini. Mungkin seperti inilah jalan hidupku sampai aku mati, tapi apa salahnya orang malang sepertiku berharap hal besar sesekali. Bisa jadi nanti hal besar itu benar terjadi di dalam hidupku.
Lelah. Bermenit menit aku habiskan untuk berharap. Membayangkan hal hal yang jauh dari zona tempatku hidup. Aku bergegas masuk dan membersihkan diri. Bersiap siap saat kudengar azan berkumandang. Mungkin ini bukan saatnya untuk aku terus berharap. Selesai aku berpakaian, aku berdiri di depan cermin, merapihkan sedikit pakaianku. Aku terkekeh, tampan juga seseorang yang berdiri di hadapan cermin. Ah, tapi sudahlah. Aku harus bergegas pergi ke masjid sebelum tertinggal jamaah. Aku mengecek sebentar kekamar ayah, masih dalam posisi yang sama. Tidak ada yang harus ku cemaskan, aku bergegas berangkat untuk solat.
"Assalaamualaikum warahmatullah" suara serak Pak Haji menutup solat isya malam ini.
"Assalaamualaikum warahmatullah" bisikan bisikan pelan jamaah terdengar mengikuti suara Pak Haji menutup solat.
Setelah solat, aku mengangkat kedua telapak tanganku. Meminta sebanyak banyaknya pada tuhan ku. Satu dua tetes airmata mengalir lancar melewati pipiku, menemani lantunan doa yang kuucap. Tidak satupun telewat ku katakan, semua hal yang aku cemaskan dan aku harapakan. Terlebih setiap aku mengingat ayah, mengingat anak sebayaku yang masih asyik berkumpul dengan teman temannya tanpa risau memikirkan akan makan apa besok, mengingat saat setiap kali aku dihina dan dimaki, dikatakan anak gelandangan yang tidak tahu malu saat meminta sebungkus nasi. Banyak hal ku ucap. Ku ceritakan semua pada satu satunya zat yang selalu ada disisiku, tidak pernah menghina ku. Hanya Dia yang ku percaya untuk mendengarkan segalanya tentang diriku yang hina, hanya Dia yang ku percaya untuk mengabulkan segala harapanku dan menghilangkan segala cemasku. Satu paling ku harap, sembuhkanlah ayahku. Aamiin.
Aku mengusap wajah, bersiap untuk pulang ke rumah. Baru saja aku bangkit, Pak Haji memanggil. Menghampiriku yang sudah selesai berdoa.
"Bagaimana kabar bapakmu, Rotang?" Pak Haji menepuk sebelah bahuku. Aku tersenyum.
"Masih sama seperti sebelumnya Pak Haji, belum juga membaik." Kataku sambil berjalan keluar masjid didampingi Pak Haji.
"Ah, kasihan sekali bapakmu itu. Aku hanya bisa berharap kesembuhan untuknya. Malang sekali. Tapi beruntung dia memilikimu, Rotang. Anak yang senantiasa bisa dia banggakan. Beruntung dia." Masih sama, aku tersenyum mendengar kata kata Pak Haji. Entah memang begitu nyatanya atau beliau hanya berkata begitu untuk menyenangkanku saja.
Aku pamit pulang kepada Pak Haji. Menyalami tangannya yang sudah sedikit keriput. Pak Haji mengelus puncak kepalaku. Membisik di telinga kananku, "jangan berhenti berharap, Rotang. Dia senantiasa mendengar harapanmu." Aku mengangguk, lalu langsung berjalan pulang.
- - -
Pukul 6.15 pagi. Aku bergegas berangkat ke toko milik Koh Xang yang berada di pinggiran jalan raya. Selesai aku mandi dan solat subuh tadi, aku menyiapkan sarapan untuk ayah. Pagi ini ayah sudah tidak selemas kemarin malam. Tapi tetap saja, tubuhnya tidak cukup membaik untuk dikatakan sudah lebih baik. Hal seperti kemarin sudah sering terjadi pada ayah. Pernah sekali terbesit dipikiranku kalau aku akan kehilangan ayah dalam waktu yang cepat. Tapi buru buru aku menepis pikiran buruk itu. Pagi ini hanya ada air putih dan sekotak nasi hasil mengantre yang aku bawa kemarin saat pulang. Aku menyicipnya sedikit, khawatir kalau nasi itu sudah tidak bisa dimakan.
"Hanya ini yang ada hari ini, Yah." Kataku sambil meletakkan sekotak nasi itu.
Ayah tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Tidak apa, Nak. Ini sudah cukup. Kita pernah hidup lebih susah daripada hari ini." Aku membalas dengan senyum getir, hatiku tidak kuat melihat reaksi ayah yang selalu berusaha baik baik saja. Cepat cepat aku pergi dari hadapan ayah. Bersembunyi dibalik tirai yang membatasi ruangan depan dan kamar. Sekuat tenaga aku menahan air mataku.
"Anakku, Rotang. Kemari, Nak! Sarapanlah dulu dengan orang tua malang ini." Dari balik tirai suara ayah terdengar lirih. Membuat hatiku semakin sakit. Tapi aku harus berusaha sekuat mungkin dihadapan ayah. Aku membuka tirai. Berjalan menghampiri ayah.
Ayah menyuruhku duduk di hadapannya. Menyodorkan sesuap nasi ke arah ku. Ragu ragu aku melahap suapan dari ayah. Ayah tersenyum. Mungkin baginya aku ini sangat berharga. "Kau harus makan yang banyak agar tidak kelelahan. Maafkan ayahmu ini, Nak. Tidak cukup bisa untuk berbuat banyak. Jangankan untuk berbuat banyak, mengais sebutir nasi pun ayah tidak mampu." Tatapan ayah kepadaku penuh dengan penyesalan. Sekali lagi ayah menyuapi ku. Membuat aku membuka mulut menerima suapannya.
Tidak, kali ini takdir tidak akan bisa memalingkan keberuntungannya dariku lagi. Sudah cukup bertahun tahun takdir tidak bersisian denganku. Kali ini, takdir berpihak atau tidak, akan ku buat dia memihakku. Setidaknya kali ini saja. Demi ayahku. Batinku meraung, siap berjuang mati matian untuk mengembalikan kehidupannya yang hilang bertahun tahun lalu. Membawa kembali ayahnya ke dalam posisi nyaman, dapat leluasa berbaring diatas ranjang empuk. Tanpa rasa menyesal sedikitpun karena telah membuat hidup kami nelangsa seperti sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar