Tengah hari di pinggir ibukota.
Laki laki dengan perawakan tinggi kurus turun dari kapal dengan tas besar di punggung. Tatapannya menyapu bersih seluruh keramaian didepan. Menatap kebingungan situasi sekitar. Satu detik, dua detik, tiga detik. Dia masih berkutat dengan posisi sebelumnya. Selang tiga detik lagi setelah itu, dia teringat sesuatu, bergegas mengeluarkan lembaran kertas -kecil, lecek, dan kusam- dari kantong celana. Menatap lamat lamat tulisan di kertas. Menerawang rute alamat yang tertulis. Segera dia mencari kendaraan sambil menunjukkan alamat yang dia punya. Hanya dengan uang pegangan dua juta delapan ratus, dia mencari kendaraan. Menawar nawar dengan harga pas menurut perkiraan pribadi. Dua taksi menolak. Harga yang dia tawarkan terlalu rendah. Jauh sekali dengan perkiraan hitungan argo.
Banyak sekali bus terparkir di terminal pelabuhan. Putus asa dengan kendaraan kendaraan kecil tadi, dia berlari kecil menghampiri loket untuk melihat harga bus ke tempat yang dia tuju sambil bertanya tanya sedikit dengan petugas untuk pemberhentiannya. Tanpa pikir panjang lagi, dia segera membeli tiket dan melompat naik ke dalam bus. Melewati satu per satu kursi, mencari yang kosong. Dia berhenti tepat satu baris sebelum kursi paling belakang. Satu kursi dipojok kosong, hanya ada tas berukuran sedang digeletakkan oleh orang yang duduk di kursi sebelahnya.
"Permisi, Bu." Sapanya halus sambil menepuk pundak perempuan paruh baya dihadapannya. Senyum lebar terpampang di wajah nya yang kental dengan ciri khas orang bagian timur Indonesia. Spontan ibu tersbut menoleh dan langsung menutup hidungnya. Menatap laki laki tersebut dengan raut jijik, lalu menggeleng keras.
"Tapi kursi itu kosong bu."
"Ya tuhan, kau pergilah dari situ. Ah, astaga. Baunya," laki laki itu menatap iba diri sendiri. Mengendus pundak kanan dan kiri, lalu lengan kanannya. Tanpa tawar menawar lagi, dia bergegas menuju deretan kursi paling belakang. Berdesakkan dengan tas dan penumpang lain. Satu dua penumpang ada yang bereaksi sama seperti ibu tadi, menutup hidung lalu memalingkan wajahnya.
Belasan menit dia duduk berdesakkan. Berhimpit himpitan satu sama lain dengan barang dan penumpang. Semakin lama, matahari semakin terik. Bau panas matahari sekaligus bau knalpot kendaraan bercampur. Di salah satu halte dia turun dengan pakaian yang terlihat lebih kusut. Berantakan. Dengan tas besar yang membuatnya terlihat seperti perantau perantau lain. Sekali lagi dia menumpang kendaraan. Kendaraan terakhir sebelum dia sampai di tujuan.
Adalah Reu. Pemuda timur Indonesia yang berumur dua puluh tujuh tahun. Wajah mudanya sangat men-ciri-kan tanah kelahirannya. Raut wajah keras dan tegas terlihat jelas. Baru kali ini dia hidup dalam perantauan. Sebelumnya, dia bahkan tidak pernah menghentakkan kaki diluar tanah kelahirannya. Hanya hidup disana, menghabiskan waktu untuk menjaga pantai atau sesekali bergantian menjaga toko souvenir dengan mama-nya.
Matahari sudah tepat diatas kepala. Matanya bolak-balik bergantian menatap antara alamat di kertas lalu mencocokan dengan alamat yang ada di hadapannya. Persis. Jelas sekali dia sudah sampai sekarang. Beberapa langkah maju dia sudah berdiri berhadap-hadapan dengan pintu. Reu membetulkan posisi ransel.
"Adoe, bokar skali e rumah sa pu laken. Macam lapangan bola saja." Jari Reu cekatang mendorong gerbang. Mulutnya masih menganga melihat bangunan di hadapannya. Luas sekali. Sebenarnya bangunan dihadapannya bukanlah apartemen atau rumah megah. Bangunan luas itu hanya kos-kosan luas dengan puluhan kamar berjajar rapi. Di bagian depan setelah gerbang juga berjajar rapi motor motor dengan berbagai merk. Tidak terlihat ada mobil kecuali satu, mobil van dengan tulisan box laundry di badan mobil.
Reu awas mencari nomor kamar yang sesuai dengan angka di kertas. Mencocokkannya dengan nomor nomor di pintu.
"27, 27, 27..." mulut Reu terus komat-kamit sambil mencari nomor 27. Sisi kanan nihil. Tidak ada nomor 27. Sekarang dia menoleh ke sisi kiri. Mencari lagi nomor 27 sambil terus berkomat-kamit.
"13, 18, 20, 27, 4, 9, eh," tatapannya kembali lagi ke arah 2 pintu sebelumnya. Membaca ulang angka tersebut.
"Adoe, ini toh." Bergegas dia melangkah. Mendekati pintu. Sekali lagi dia membetulkan posisi ransel. Jemarinya mengepal, siap mengetuk. Dua ketukan pertama tidak ada jawaban. Pantang menyerah, Reu mengetuk lagi sampai lima kali. Belum sampai kepalan tangannya di pintu, pintu terbuka. Suara berdecitnya terdengar jelas. Kepala laki laki gundul keluar dari balik pintu.
"Astaga, hei! Kau ini siang siang mengetuk pintu kamar orang seperti akan menagih hutang saja, hah. Berisik sekali. Pelan pelan sajalah, kawan. Ketukan mu tadi membangunkanku. Ah, astaga." Suara decitan pintu itu bukan dari pintu yang dia ketuk. Melainkan dari sisi seberang.
"Maaf kaka. Sa tra bermaksud."
"Tidak masalah, kawan." Laki laki itu menggeleng pelan.
"Ahiya, kau ini kawannya Si Adoe kah?" Sebelah alis laki laki itu naik-turun, menanyai seakan sedang menginterogasi. Kebingungan dengan orang yang dia ajak bicara. Raut wajah Reu tidak kalah bingung. Alisnya bertaut satu sama lain.
"Maaf lagi, kaka. Si Adoe itu siapa toh?" Laki laki gundul itu mengelos.
"Temanmu, yang papua juga. Ah, siapa namanya, aku lupa. Ah, Missael. Iyakan?"
"Iya, kaka. Missael. Sa pu laken itu." Gigi putih Reu terlihat jelas. Senyumnya lebar saat nama temannya disebut.
"Kaka ada kenal dia kah?" Laki laki gundul itu hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Reu yang terdengar antusias.
"Sepertinya, kau ini tidak cukup baik mengenal laken mu."
"Eh,"
"Iya, kalau kau kenal baik dengan kawanmu Si Adoe itu, harusnya kau tahu betul kalau kawanmu itu sekarang pasti sedang sibuk dengan mimpi indahnya. Entahlah mengkhayal atau tidur lelap. Kau lihat saja disana. Lampunya sempurna mati. Pasti dia sudah lelap." Telunjuk laki laki itu mengarah ke ventilasi diatas pintu. Memang betul katanya, lampu di dalam ruangan itu sempurna mati. Gelap sekali dilihat dari luar. Reu menggeleng sambil terus mendongak menerawang lewat ventilasi tadi.
"Sudahlah, akan lama kalau kau menunggu Si Adoe itu bangun. Kau mau ikut aku dulu, tidak?" Laki laki itu sudah berbalik menuju kamarnya. Membiarkan saja Reu dengan posisinya. Terserah dia ingin ikut atau menunggu saja Missael keluar dari kamarnya. Kaget saat menyadari kalau ada tamu yang daritadi sudah menunggunya. Berjam jam terkunci di luar. Terantuk antuk karena terlalu lama menunggu. Eh, ternyata tamu itu adalah teman di kampungnya dulu. Temannya semasa masih menaklukan pantai.
"Sa ikut sajalah dengan kaka. Sa tra mo menunggu diluar. Terkunci dengan tas gode eh. Adoe." Reu melangkah mengikuti laki laki di hadapannya.
"Ahiya, kau jangan lagi panggil aku dengan sebutan 'kaka'. Aku bukan kerabatmu."
"Siap, kaka. Sa tra kan panggil kaka dengan sebutan 'kaka' lagi. Eh, tapi sa panggil kaka apa toh?" Timpal Reu dengan bahasa seadanya. Bercampur campura antara bahasa tanah kelahirannya dengan Bahasa Indonesia seadanya.
"Ah, tadi itu terakhir kalinya kau boleh memanggilku 'kaka'. Setelah ini panggil saja aku Soleh." Reu mengangguk mantap. Ternyata nama Si Gundul itu adalah Soleh.
Matahari sudah setengah terbenam. Reu bergegas menghampiri kamar Missael lagi. Lampu kamarnya kali ini sudah menyala. Samar samar dari luar terdengar suara musik, juga sahutan ramai orang yang ikut bernyanyi.
"Galileo!"
"Galileo!"
"Galileo!"
"Galileo!"
Kali ini lebih keras. Jelas sekali teriakan serak laki laki didalam ruangan itu. Jemari Reu mengepal. Bersiap mengetuk pintu. Satu, dua, tiga.
Tok tok!
Belum juga ada jawaban dari penghuninya.
Tok tok!
Ketukan kedua lebih keras.
Tok tok!
Ah, astaga. Masih juga dihiraukan oleh orang didalam.
Keempat kali Reu sudah kehilangan kesabaran. Tadi siang, sudah cukup dia ditinggal tidur dan terkunci di luar, lalu menumpang kedalam kamar Soleh. Sekarang tidak lagi dia bersabar.
Dor dor dor!
Telapak tangan Reu sempurna menggedor pintu dihadapannya. Berkali kali, tidak berhenti sebelum pintu itu terbuka. Penggedoran Reu berhenti saat telapak tangannya sudah terasa kebas. Mengkibas kibaskannya untuk menghilangkan kebas. Satu detik, dua detik, tiga detik, sampai lima detik, belum juga dibukakan. Kali ini telapak tangan Reu yang lain sudah bersiap untuk menggedor pintu lagi. Saat Reu siap dengan ancang ancang penggedoran berikutnya, pintu tiba tiba terbuka lebar. Memperlihatkan dengan jelas isi ruangan. Penghuninya pun ikut serta muncul sambil memegangi gagang pintu. Raut wajahnya kesal. Mungkin karena waktu karokenya diganggu oleh gedoran ganas dari tangan -yang dikiranya- seorang debt collector.
"Adoe, coba sa lihat ini siapa yang datang. Menggedor pula mo seperti mengajak bakalahi. Mo sa paku ko, hah?" Missael memasang kuda kuda, tinjunya kuas teracung kearah Reu yang masih menatap kesal. Tidak terima.
"Eh, ko menantang sa kah?" Sekarang Reu juga siap dengan kuda kudanya -walaupun kuda kuda dan tinjunya tidak sekuat Missael. Elspresi Missael berubah drastis. Senyum lebarnya menunjukkan gigi gigi besarnya. Garis wajahnya lebih tegas daripadi Reu.
"Ah, sa pu kawan memang tra pernah berubah eh." Missael menepuk nepuk bahu Reu. Keduanya tertawa -sampai bahu mereka berguncang, lalu berpelukan ala sahabat lama tidak bertemu.
"Ayo masuk!" Aksen Missael sudah tidak sekental Reu yang baru saja keluar dari kampung halaman. Wajar saja karena Missael sudah hampir lima tahun hidup di ibukota. Merantau karena sudah tidak cukup lagi membiayai hidup keluarga kalau hanya dengan menjaga pantai, membantu turis, atau membuka toko souvenir. Kehidupan Missael di kampung memang lebih keras daripada Reu. Dia harus membiayai mama dan empat adiknya. Papanya sudah lama meninggal sejak dia masih kecil.
"Ko su makan, heh?" Missael membantu Reu membawa ransel.
"Sa su makan tadi di rumah Soleh."
"Ko jalan tra kas tau sa eh. Klo ko kas tau sa, sa siapkan penyambutan yang besar untuk ko toh. Adoe ko ini."
"Eh, su lah. Ko punya mulut banyak sekali tebar janji. Ko ingat, ko su bilang begitu saat sa kas tau ko kalau sa mo pergi ke ibukota." Reu langsung melemparkan tubuhnya ke kasur Missael yang berantakan.
"Adoh! Apa ini?" Benda kecil menusuk punggung Reu. Tanpa disuruh lagi, Reu bangkit dari posisinya. Meraba benda dibalik selimut.
"Eh, Missael. Ko main bola di atas kasur kah?" Bola kecil itu melesat kearah Missael. Tepat mengenai punggung Missael.
"Adoh!" Missael mengusap punggungnya yang sakit karena dilempari bola kasti.
"Ko bisa tra lempari sa dengan bola, heh?"
"Berantakan skali ko pu rumah, El." Protes Reu.
"Ah, sudahlah. Btw ko su pu pekerjaan?" Malas mendengar protes Reu lebih panjang lagi, Missael mengalihkan pembicaraan. Basa-basi menanyakan pekerjaan -padahal dia sudah tau kalau Reu pasti belum punya pekerjaan. Lagipula, bagaimana bisa perantau yang baru sampai tadi siang sudah dapat pekerjaan? Didalam bis saja dihina.
Reu menggeleng. "Eh, ko bawalah sa ke tempat ko bekerja. Kenalkan sa pada bos mu."
"Iyalah, tapi ko sendiri nanti eh yang bilang ingin bekerja. Sa tra bisa bantu banyak."
Reu mengangguk antusias. Tidak tahu saja apa yang akan terjadi nanti disana.
Pukul enam pagi. Penghuni kos-kosan sudah mulai bersiap pergi ke tempat kerja masing masing -mungkin beberapa ada yang pergi ke universitas. Suara mesin motor sudah terdengar daritadi. Gerbang pun sudah dibuka dari pukul setengah enam. Satpam kos-kosan ramah menyapa para penghuni kos yang melewati gerbang. Entah bagaimana dia bisa kenal dengan para penghuni yang jumlahnya puluhan ini. Mungkin sudah bertahun tahun tinggal disana sampai satpam pun mengenali. Beberapa penghuni ada yang balas menyapa, ada juga yang mengabaikan. Terburu buru mengejar waktu.
Reu sudah rapih berkemeja dan Missael dengan seragam birunya. Sambil memegang berkas berkas yang sudah dibundel dalam satu map, Reu menyuruh Missael bergegas. Takut sekali terlambat. Cepat cepat Missael menyelesaikan ikatan tali sepatu. Berdiri menghampiri Reu. Menepuk sebelah pu dak Reu dan segera meninggalkan kos-kosan dengan Reu mengikuti dibelakang. Dua laki laki dengan wajah khas Indonesia Timur itu jalan bersebelahan. Menghampiri motor bebek yang terparkir di dekat gerbang. Missael cekatan menyalakan mesin motor, sedangkan Reu hanya memerhatikan dari belakang. Tidak paham sama sekali tentang motor. Semua sudah siap. Missael mantap meng-gas motor bebek kesayangannya. Melintasi jalanan ibukota yang sudah setengah macet. Masih tersisa empat puluh lima menit sebelum jam masuk kerja Missael.
Tepat sepuluh menit sebelum, motor bebek itu sudah terparkir, berjajar rapih dengan motor lain didalam basement gedung. Missael dan Reu segera memasuki area perkantoran. Ramai sekali pekerja sudah berdatangan. Hinggap di tempatnya masing masing. Bergegas menyalakan komputer di meja. Missael menyapa para pekerja yang sudah siap tersebut. Beberapa tidak, karena Missael tidak mengenalnya.
Didalam ruangan khusus petugas office boy, Missael bersiap dengan alat bersih bersih. Kepalanya menoleh ke arah Reu yang masih berdiri mematung dibelakang. Melihat Reu kebingungan, Missael menyuruh Reu untuk ikut dengannya bertemu dengan salah satu karyawan. Satu menit, Reu dan Missael sudah berdiri dihadapan perempuan dengan rambut rapih terkonde. Missael menepuk bahu perempuan itu dan memberitahukan kalau Reu, temannya, sedang mencari pekerjaan. Tanpa basa-basi, perempuat berkonde tadi bergegas bangkit dari kursi. Menyuruh Reu untuk ikut dengannya. Reu menoleh Missael. Menatapnya bingung. Missael melengos, menyuruhnya bergegas untuk mengikuti perempuan tadi.
Lorong lorong di gedung perkantoran itu ramai. Suara ketikan terdengar sahut sahutan. Hanya beberapa detik perempuan itu sudah berhenti di depan pintu. Mengetuk dua kali lalu membukanya sedikit.
"Permisi, Bu." Kakinya melangkah maju. Memasuki ujung ruangan.
"Dingin sekali eh kaka disini." Perempuan itu menoleh. Tatapannya sinis. Menyuruh diam secara tidak langsung. Reu tertunduk.
"Ada apa, Sya?" Satu lagi perempuan bicara. Yang kali ini terlihat seperti bos nya. Duduk sendiri didalam ruangan pribadi. Rapih dengan komputer dan beberapa tumpukan dokumen di meja.
"Ada yang ingin melemar kerja, Bu." Perempuan disisi Reu bicara lagi. Menjawab pertanyaan dari perempuan tadi.
"Kamu yang dimaksud?" Tatapannya langsung mengarah ka Reu. Menatap tegas tanpa halangan. Jantung Reu berdebar.
"I-iya, Bu." Reu menelan ludah. Tegang sekali.
"Ya sudah, Sya, kamu boleh keluar. Saya harus melakukan wawancara dengan pria di sebelahmu."
"Baik, Bu." Perempuan itu sudah berbalik. Melangkah menuju pintu.
"Kau tidak perlu khawatir. Temanmu ini, kalau hasil wawancaranya memuaskan, dia pasti aka segera bekerja denganmu, Sya. Kau tenang saja. Aku tidak akan mencuranginya. Kau tahu itu."
Perempuan dengan 'Sya' itu menoleh. "Eh," tatapannya bingung.
"Dia bukan temanku, Bu. Soal yang kau bicarakan tentang mencurangi tadi, aku percaya padamu. Tapi untuk pelamar yang satu ini, mungkin ada baiknya kau berbuat curang." Dua perempuan itu tertawa kecil, lalu sempurna menghilang dari balik pintu.
Reu keluar dengan senyum lebar. Hampir satu jam Reu berada di dalam ruangan. Menjawab satu per satu pertanyaan yang diberikan oleh staf HRD tadi. Sekarang dirinya sempurna lega, walau entah nantinya akan diterima atau tidak. Bergegas dia menghampiri Missael yang dari jauh terlihat sibuk sekali mengepel lantai. Menceritakan pengalamannya melakukan wawancara. Missael ikut tersenyum mendengar cerita Reu. Sama berharapnya agar Reu dapat diterima bekerja.
Satu minggu berlalu. Sampai hari ini Reu dan Missael masih harap harap cemas mendengar kabar dari staf HRD. Reu sudah siap dengan benda kotak pipih di genggaman. Menunggu kotak masuk tentang penerimaannya sebagai karyawan. Matanya berkutat dengan layar. Tiga menit sudah. Belum juga ada kotak masuk yang dia tunggu tunggu.
Ting!
Kotak masuk yang ditunggu tunggu akhirnya datang. Tanpa disuruh lagi, Reu langsung membukanya. Dirinya sudah siap dengan segala kemungkinan. Reu membaca setiap huruf, kata, baris dan paragraf. Matanya berhenti saat membaca tulisan 'diterima'. Seketika Reu menjerit. Tubuhnya melompat kegirangan. Ah, astaga senangnya eperti seseorang yang baru saja memenangkan lotre ratusan miliyar. Girang sekali. Besoknya Reu semangat berangkat bekerja. Pagi pagi sekali sudah siap dengan seragam biru yang disetrika rapih.
Satu bulan sudah lewat. Reu masih sama semangatnya dengan hari pertama kerja. Selama sebulan Reu takjub dengan sikap toleransi para pegawai di tempat itu. Saling toleransi satu sama lain. Tidak pandang dia orang Papua atau Jawa. Semua sama. Harus sama di hargai dan menghargai. Kalau kata staf HRD yang pernah mewawancarai Reu saat itu 'integrasi sosial'. Ah entahlah itu apa, yang jelas Reu senang.